Sunday 27 July 2008

PHBM


1. Latar Belakang
Pulau Jawa memiliki luasan hanya 6% dari luas wilayah Indonesia, tetapi 60% dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Perum Perhutani sebagai BUMN yang diberi mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian yang besar kepada masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang sebagian besar tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan.
Sejalan dengan terjadinya reformasi di bidang kehutanan, Perum Perhutani menyempurnakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan lahirnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sistem PHBM ini dilaksanakan dengan jiwa BERSAMA, BERDAYA, dan BERBAGI yang meliputi pemanfaatan lahan/ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. Sampai dengan tahun ke-6 pelaksanaan PHBM disadari bahwa masih ditemukan berbagai kendala dan permasalahan, maka pada tahun 2007 disempurnakan kembali dalam PHBM PLUS.
Dengan PHBM PLUS diharapkan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa akan lebih fleksibel, akomodatif, partisipatif dan dengan kesadaran tanggung jawab sosial yang tinggi, sehingga mampu memberikan kontribusi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menuju Masyarakat Desa Hutan Mandiri dan Hutan Lestari.

2. Pengertian PHBM
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif.

3. Maksud dan Tujuan
PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. PHBM bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan.

4. Ruang Lingkup PHBM
PHBM dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan hutan dengan mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan perencanaan partisipatif. PHBM yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan tidak bertujuan untuk mengubah status kawasan hutan, fungsi hutan dan status tanah negara.

5. Prinsip-prinsip PHBM
PHBM dilaksanakan dengan prinsip-prinsip :
  • a. Perubahan pola pikir pada semua jajaran Perum Perhutani dari birokratis, sentralistik, kaku dan ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai.
  • b. Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik wilayah.
  • c. Fleksibel, akomodatif, partisipatif dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.
  • d. Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami dan pembelajaran bersama.
  • e. Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah Daerah.
  • f. Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak dan kewajiban yang jelas.
  • g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
  • h. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan.
  • i. Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat mandiri dan hutan lestari.
  • j. Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak.

6. Organisasi-organisasi dalam PHBM
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa hutan dalam rangka kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan dengan sistem PHBM. LMDH merupakan lembaga yang berbadan hukum, mempunyai fungsi sebagai wadah bagi masyarakat desa hutan untuk menjalin kerjasama degan Perum Perhutani dalam PHBM dengan prinsip kemitraan. LMDH memiliki hak kelola di petak hutan pangkuan di wilayah desa dimana LMDH itu berada, bekerjasama dengan Perum Perhutani dan mendapat bagi hasil dari kerjasama tersebut. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan hutan, LMDH mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) merupakan salah satu lembaga pendukung dalam pelaksanaan PHBM. FK PHBM dibentuk disetiap tingkat pemerintahan, mulai dari Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi. Secara hukum FK bertanggung jawab kepada Pemerintah di tingkat mana FK tersebut dibentuk.
Tugas FK PHBM adalah:
  • Mengkoordinasikan dan menjabarkan secara operasional kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat.
  • Melaksanakan bimbingan, pendampingan, memantau dan mengevaluasi hasil kegiatan dan perkembangan PHBM.
  • Melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan PHBM sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing.
  • Menyampaikan hasil laporan kegiatan tersebut kepada semua pihak yang berkepentingan.
7. Pelaksanaan PHBM
Pelaksanaan PHBM di bidang pengelolaan hutan, meliputi program-program sebagai berikut :
a. Bidang Perencanaan
  • Penyusunan Perencanaan Petak Hutan Pangkuan secara partisipatif dengan melibatkan semua pihak terkait. Perencanaan meliputi: rencana kelola wilayah hutan, rencana sosial, rencana kelembagaan, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan usaha ekonomi produktif masyarakat sekitar hutan.
  • Perencanaan disusun oleh LMDH, Perum Perhutani dan para pihak yang berkepentingan dengan pendekatan desa melalui kajian sumberdaya yang ada di masing-masing desa.
b. Bidang Pembinaan Sumberdaya Hutan
  • Persemaian, tanaman dan pemeliharaan dikerjasamakan dengan LMDH.
  • Pengkaderan mandor sebagai penyuluh PHBM PLUS.
  • Pembuatan pusat informasi dan komunikasi PHBM.
  • Pelatihan-pelatihan usaha produktif dan kewirausahaan untuk LMDH.
  • Pemberdayaan terhadap LMDH bersama dengan para pihak.
  • Mengaktifkan pola FGD (Foccus Group Discussion = Diskusi Kelompok Terarah).
  • Pembentukan site learning (lokasi pembelajaran) untuk PHBM.
c. Bidang Produksi
  • Alokasi bagi hasil untuk produksi kayu dan non-kayu, wisata, galian C, sampah, air, dll.
  • Pertisipasi LMDH dalam pengamanan hasil tebangan dan pengangkutan kayu dari hutan ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK).
d. Bidang Pemasaran dan Industri
  • Pembentukan warung kayu untuk mempermudah masyarakat desa hutan dalam memperoleh kayu.
  • Membantu pasokan kayu untuk industri kecil yang dimiliki oleh LMDH.
  • Membantu teknologi bagi industri LMDH.
  • Membantu pengembangan pemasaran bagi industri LMDH.
e. Bidang Keamanan
  • LMDH berperan aktif dalam menjaga keamanan hutan.
  • LMDH bersama Perhutani melaksanakan patroli harian untuk mengatasi keamanan dan pengamanan hutan.
f. Bidang Keuangan
  • Biaya PHBM PLUS minimal 10 % dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.
  • Pendapatan perusahaan dari bagi hasil kegiatan PHBM di luar usaha pokok dikembalikan untuk mendukung kegiatan PHBM PLUS.
  • Memfasilitasi LMDH dalam memperoleh sumber modal dari pihak ketiga.
  • Memberikan bimbingan kepada LMDH dalam pengelolaan administrasi dan pemanfaatan keuangan.
g. Bidang Sumberdaya Manusia (Perhutani)
  • Penyiapan petugas PHBM yang proporsional dengan kualitas yang memadai.
  • Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Pusat, Unit dan KPH dengan melakukan pertemuan dan aktifitas yang intensif.
  • Pembangunan dan pengembangan training centre (pusat pelatihan) PHBM PLUS untuk
  • meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan metode partisipatif yang berbasis community development (pembangunan masyarakat).
8. Keterlibatan Para Pihak dalam PHBM
Para pihak yang dimaksud dalam PHBM adalah pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM, yaitu: Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Donor.
Pemeritah Daerah dilibatkan dalam sistem PHBM, sebagai pemegang kekuasaan atas wilayah administrasidan tata kehidupan sosial masyarakat desa hutan. Peran Pemerintah Daerah adalah mensinergikan program-program pembangunan wilayah dengan pelaksanaan PHBM.
Pemerintah Daerah yang terlibat dalam PHBM meliputi: Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Lembaga Swadaya Masyarakat, berperan dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi segala persoalan dalam dirinya. LSM diharapkan bisa melakukan transfer pengetahuan dan teknologi pada masyarakat untuk mempercepat terjadinya perubahan sosial untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Lembaga Ekonomi Masyarakat, berperan dalam mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Persoalan ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, karena hal ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan.
Lembaga Sosial Masyarakat, berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih kualitas. Lembaga Sosial Masyarakat berupa perkumpulan-perkumpulansosial di masyarakat, baik yang terbentuk secara alami maupun terbentuk karena program-program dari pihak di luar masyarakat.
Usaha Swasta, berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal. Keterlibatan pihak ini dalam PHBM akan mendukung kemajuan masyarakat dalam mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Lembaga Pendidikan, memiliki peran dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada PHBM.
Lembaga Donor, berperan untuk memberikan dukungan dana kepada masyarakat desa hutan dalam usaha keterlibatannya di PHBM. Kerjasama dengan Lembaga Donor akan menjadikan masyarakat dan Perum Perhutani memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan berbagai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimilikinya.

9. Bagi Hasil dalam PHBM
Kegiatan berbagi dalam PHBM ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Nilai dan proporsi berbagi dalam PHBM ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak (Perum Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan).
Nilai dan proporsi berbagi ditetapkan oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan pada saat penyusunan rencana yang dilakukan secara partisipatif. Ketentuan mengenai nilai dan proporsi berbagi dituangkan dalam perjanjian PHBM antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan.

10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi harus dilakukan secara konsisten sebagai tuntutan manajemen dalam rangka pelaksanaan PHBM. Monitoring dan evaluasi merupakan dasar bagi penilaian kinerja jajaran Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dalam melaksanakan PHBM.
Monitoring dalam pelaksanaan PHBM dilakukan dalam rangka pendampingan, pengawalan dan pengamatan atas pelaksanaan PHBM. Monitoring ini harus dilaksanakan secara terus menerus selama proses berjalan oleh Perum Perhutani, LMDH, LSM, dan para pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilaksanakan dengan maksud untuk mengetahui pencapaian hasil kinerja pelaksanaan PHBM. Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil pelaksanaan dengan target yang telah ditetapkan dalam perencanaan PHBM pada masing-masing wilayah.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan alat monitoring dan evaluasi yang dirumuskan bersama oleh semua pihak. Kesepakatan tentang alat monitoring dan evaluasi yang akan digunakan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan proses, respon dan dampak terhadap monitoring dan evaluasi yang dilakukan. Untuk itu monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara partisipatif mulai dari perumusan alat yang digunakan, pelaksanaan dan tindak lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan.

Sumber: Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS) dengan adanya penyelarasan bahasa dan materi oleh Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Dokumen ini disusun sebagai media sosialisasi LMDH dalam kerangka Levelling the Playing Field Project, yang didanai oleh Uni Eropa, kerjasama CIRAD, CIFOR, Fakultas Kehutanan UGM dan Perum Perhutani.

Wednesday 16 July 2008

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)


Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) plus merupakan sistem yang kemudian menjadi icon corporate sosial responsibility Perum Perhutani, bergulir menjadi sebuah perubahan di sepanjang batas hutan. Dana segar yang mengalir ke desa hutan dari dana sharing hasil produksi, bernilai milyaran rupiah. Wilayah pangkuan hutan dibagi habis dalam wengkon desa yang 100 % dapat mereka akses dan manfaatkan sebagai medium budidaya.

Tumbuhnya kesadaran pemerintah daerah dalam memandang masyarakat desa hutan sebagai bagian dari tanggungjawabnya, mengalirkan APBD yang juga bernilai puluhan milyar rupiah. Akhirnya, harus jujur diakui bahwa di beberapa tempat, implementasi PHBM telah menjadi stimulator bagi meningkatnya keberdayaan masyarakat desa hutan yang ditunjukkan dengan kemandirian dalam membangun sarana fisik maupun non fisik, berkembangnya kreativitas sosial dan ekonomi dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat desa hutan, meningkatkan kemampuan memotret diri dan berjalannya proses kematangan demokrasi berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal serta terjaganya kelestarian dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Keberhasilan implementasi PHBM berpotensi untuk memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi upaya mewujudkan cita-cita bangsa dan negara, khususnya percepatan pembangunan masyarakat di sekitar hutan. Sumbangan tersebut berupa munculnya 3 sumber energi sebagai dampak dari implementasi PHBM yang dapat digunakan LMDH dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai Motor Penggerak Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan. Ketiga sumber energi tersebut adalah :
  • Dana Sharing Hasil Produksi Perum Perhutani sebesar 25 % (sesuai ketentuan berlaku)
  • Optimalisasi Ruang Kelola (wilayah hutan yang masuk dalam wengkon Desa)
  • Sinergi Kelembagaan Multi Pihak (Pemerintah Daerah, LSM, Dunia Usaha, Dunia Pendidikan).
Dengan sumber energi tersebut, LMDH tampil sebagai kekuatan baru di sepanjang batas hutan dan membangun kebersamaan sinergis untuk mewujudkan desa hutan yang maju, mandiri dan sejahtera. Namun demikian, keberhasilan implementasi PHBM masih bersifat sporadis dan muncul tidak merata di sepanjang batas hutan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
  • Tidak meratanya pemahaman internal Perhutani di hampir semua tingkatan manajemen dalam memandang implementasi PHBM sebagai sebuah tuntutan zaman yang tidak terelakan dan merupakan bentuk sumbangsih Perhutani sebagai bagian dari warga bangsa dalam upaya mewujudkan cita-cita bersama.
  • Masih terdapat keraguan dan keenganan multi pihak untuk secara serius menjadikan implementasi PHBM sebagai solusi tepat bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Khususnya pemerintah daerah yang belum secara cerdas menangkap peluang implementasi PHBM ini sebagai bagian integral dari program pembangunan wilayah dan prioritas pembangunan. Akibatnya, Perhutani terkesan dibiarkan sendiri dalam mengimplementasikan PHBM tersebut, sehingga sangat berpengaruh dalam pencapaian hasil akhirnya.
  • Potensi sumberdaya hutan dan sumberdaya manusia yang dimiliki desa hutan sangat beragam dan spesifik lokalita, sehingga menghasilkan dampak yang beragam pula. Sementara itu, penggalian dan penyusunan database potensi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia masih jarang dilakukan. Disamping itu, sifat spesifik lokalita desa hutan tersebut, juga menghasilkan potensi konflik yang spesifik dan memerlukan perlakuan yang spesifik pula. Padahal, sumberdaya manusia yang dimiliki Perhutani, khususnya di lapangan (frontline), tidak dibekali kemampuan khusus untuk dapat mengelola konflik yang ada.
Menyadari bahwa LMDH memiliki peran yang sangat vital dalam implementasi PHBM, maka perlu kiranya mengelola kelembagaan tersebut dengan sangat serius. Sebenarnya, LMDH adalah aset kekuatan eksternal yang “dimiliki” Perhutani dalam uapaya mencapai Visi dan Misi perusahaan serta tercapainya tujuan PHBM. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah :
  • Memperluas akses dan membentuk jaringan komunikasi antar LMDH sampai pada tingkatan yang dapat menyuarakan kepentingan-kepentingan MDH di tingkat Nasional. Saat ini, memang terdapat paguyuban-paguyuban LMDH sampai tingkat Propinsi, tetapi paguyuban tersebut belum mampu menyuarakan kepentingan LMDH di tingkat Nasional. Sehingga, kesan yang muncul adalah LMDH hanyalah organisasi tingkat lokal yang tidak akan membawa pengaruh pada tataran regional maupun nasional. Padahal faktanya, lebih dari 5.000 LMDH nantinya, akan sangat berpengaruh terhadap percepatan pembangunan wilayah dan akumulasinya tentu akan sangat berpengaruh pada tataran sosial politik nasional.
  • Melakukan pengawalan secara terus menerus terhadap LMDH dalam mengemban amanah peran dan fungsinya sebagai Motor Penggerak Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan. Pengawalan ini dapat dilakukan oleh institusi independent yang secara khusus dan terus menerus mendorong proses pemberdayaan dan kemandirian LMDH, baik dalam hal kelembagaan maupun kewirausahaan, serta mengupayakan terbentuknya kebersamaan yang sinergis multi pihak dalam implementasi PHBM.
  • Memperkuat jiwa korsa LMDH sebagai organisasi masyarakat yang memiliki kesamaan visi, misi dan arah perjuangan, yakni memperjuangkan terwujudnya Hutan Lestari dan Masyarakat Desa Hutan Sejahtera.

PROFIL LMDH TLOGOMULYO

LMDH Tlogo Mulyo adalah Lembaga Masayarakat Desa Hutan desa Tlogohendro Kecamatan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan, yang dibentuk pada 8 januari 2004 dengan jumlah anggota 116 orang, dengan wilayah kelola berupa hutan produksi 215 ha dan hutan lindung 437 ha yang masuk dalam wilayah RPH Gumelem KPH Pekalongan Timur. Sedangkan Keorganisasian LMDH sudah di aktenotariskan 9 maret 2004 Nomor : C.94.HT.0301.TH 1990 dan kepengurusan LMDH saat ini sudah berperan aktif dalam setiap kegiatan pembangunan yang ada di desa dan berperan aktif dalam mengakomodir anggota dan peningkatan produksi getah, ini dapat terlihat degan sharing hasil getah yang diterimakan dari Perum Perhutani.

Saat ini permodalan LMDH diperoleh dari sharing yang diterima setiap tahun dengan menyisihkan sebagian untuk usah produktif berupa simpan pinjam anggota khusus untuk penyadap dengan system pengembalian berupa pemotongan tiap setor getah, dan mengelola bantuan kambing dari dinas kehutanan dan perkebunan 15 ekor, dan diberikan ke anggota dengan system bergulir, Sedangkan kegiatan yang dilakukan didalam kawasan selain pengelolaan hutan untuk sadap getah juga berupa pengusahaan penanaman rumput gajah untuk pakan ternak, kerjasama penanaman dan penebangan kayu dengan perhutani, juga pemanfaatan tanaman kopi di kawasan lindung yang hampir tersebar diseluruh kawasan hutan. Dan usaha produktif dilluar kawasan adalah dengan pengusahaan penanaman kayu kayuan di lahan masyarakat atau hutan rakyat berupa sengon, nangka, akasia, puspa dan kaliandra serta tanaman pangan pisang dan jagung.

VISI

Hutan lestari masyarakat mukti.

MISI

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan melalui pengelolaan hutan secara demokratis, adil dan lestari serta berpihak kepada masyarakat.

KEPENGURUSAN HARIAN

Ketua : Tasbin
Sekretaris : Ruslani
Bendahara : Bugel
Anggota : 150 Orang

SEKSI – SEKSI
Keamanan Hutan : Cahyadi
Produksi : Basuki
Keamanan : Santoso

KEGIATAN YANG DILAKUKAN LMDH

Kegiatan di Luar Kawasan

  1. Simpan Pinjam anggota penyadap
  2. Pengusahaan Penggemukan ternak bergulir ( Kambing dan Sapi )

Kegiatan di Dalam Kawasan

  1. Penyadapan Getah Pinus Hutan Produksi Seluas
  2. Kerjasama Penanaman dan tebangan
  3. Pengusahaan Rumput gajah

PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERKAITAN DENGAN ASPEK TENURIAL


Keberadaan hutan dan kawasannya pada dekade 20 tahun terakhir ini telah mengalami degradasi yang cukup signifikan dan sangat mengkhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terjadi antara lain sebagai akibat konflik sosial yang didasari oleh konflik lahan (tenurial). Pada dekade tahun 1990-an saja, tidak kurang dari 19,807 konflik terjadi pada lahan-lahan HPH, HPHTI, Perhutani dan Taman Nasional dalam bentuk penebangan liar, tumpang tindih status lahan, reclaiming, perladangan liar dan pembakaran hutan (Mushi, 1999).

Kebutuhan atas lahan untuk penggunaan (sektor) lain, seperti pemukiman, pertambangan, pertanian dan perkebunan, semakin memperparah laju penurunan luassan kawasan hutan. Dalam berbagai persoalan lintas sektoral ini, sektor kehutanan menjadi inferior.

Pada dasarnya, konflik lahan terjadi akibat secara de jure sumber daya alam (termasuk hutan) yang diklaim adalah dikuasai negara (pasal 33 UUD ’45), de facto-nya tidak diakui oleh (sebagian) masyarakat. Konflik lahan juga sering terjadi akibat manajemen kawasan (tata ruang) yang kurang baik, dan belakangan terjadi akibat tarik-menarik kewenangan pengaturan sumber daya alam antara pusat dan daerah.

Pada tingkat unit pengelolaan hutan, konflik berwujud pada klaim yang bertumbukan (tumpang tindih) atas lokasi yang sama dari dasar hak yang berbeda. Di satu pihak, pengelola hutan mempunyai klaim atas hak yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan perundangan dan hukum formal yang berlaku, sedangkan di lain pihak, masyarakat mendasarkan klaim atas hak tersebut dari aturan dan atau hukum adat setempat yang telah disepakati bersama. Sementara bila konflik ini terjadi, pemerintah hanya bisa “angkat tangan” dan mengembalikan permasalahan kepada pengelola, seolah lahan/areal yang menjadi ajang konflik pengelola dan masyarakat, adalah bukan domain-nya.

Meminjam istilah Noer Fauzi (Ketua BP-KPA), konflik yang tejadi pada unit pengelolaan hutan ini, seperti “pucuk gunung es” yang menonjol di permukaan, namun di bawah permukaan ada kekuatan atau daya tahan yang terus-menerus akan memunculkan konflik-konflik lain di permukaan dan tetap bertahan untuk waktu yang lama.

Jelas, hal ini menjadi kondisi yang tidak menguntungkan bagi bisnis kehutanan. Berbagai dampak dapat secara kasat mata dicermati saat ini antara lain, adalah :
• Menurunnya kuantitas dan kualitas hutan
• Menurunnya tingkat investasi pada sektor kehutanan
• Menurunnya devisa Negara
• Melemahnya daya saing pasar atas produk hasil hutan.

B. Bentuk-bentuk Upaya

Tidak sedikit pengelola hutan, baik BUMN maupun BUMS yang dengan kesadarannya telah melakukan berbagai uapaya kelola social untuk mencoba mengatasi konflik yang beralaskan tenurial. Sebagi cantoh :
• Perhutani dengan Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM)-nya,
• RAPP dengan Smallholder Partnership for Poverty Alleviation (SPPA)-nya,
• PT. Aya Yayang dengan Community Cooperation-nya,
• PT. Wira Karya Sakti dengan Pembangunan Hutan Tanaman Bersama Masyarakat,
• Dll.

Sejumlah inisiatif local telah banyak digagas, baik oleh LSM, lembaga-lembaga donor dan pemerintah untuk mencari bentuk penyelesaian terbaik guna menjawab persoalan penguasaan lahan dan mengakomodir semua kepentingan.

Faktanya, semua upaya baik pada tataran konsep maupun pragmatis yang telah dilakukan di atas, masih bersifat sesaat (insidentil) dan belum mampu secara komprehensif membendung potensi konflik lainnya. Kesepahaman antar pihak, seringkali terjadi masih berifat elitis yang belum mampu diterjemahkan sampai grass root level, serta belum mampu menyentuh akar persoalan. Bila demikian, masihkah harapan pengelolaan hutan prosuksi secara lestari (SFM) ditumpukan pada pengelola?

C. Kepastian Kawasan, kepastian Hukum

Dari pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dan masih berlanjut sampai saat ini fenomena yang ada menunjukkan bahwa segala fondasi yang telah melahirkan konflik dengan issue tenurial dan social pada segala usaha kegiatan pengelolaan hutan di sector kehutanan, adalah masalah kepastian kawasan yang tidak dipayungi dengan penegakan dan kepastian hukum. Masalahnya lagi, system hukum yang berkaitan dengan aspek tenurialpun de facto-nya masih ada yang berbasis Negara (state based tenure system) dan yang berbasis masyarakat (community based tenure system).

Kawasan hutan yang selama ini telah ditata sedemikian rupa melalui proses-proses kesepakatan dalam TGHK, tata ruang dan penunjukkan Kawasan hutan dan Perairan (KHP), harusnya secara legal formal (dengan basis system hukum Negara) sudah mampu memberikan kepastian. Pada kenyataannya, selama ini pula proses-proses tersebut masih ditempuh dengan mekanisme top down dan (katanya) menafikankeberadaan hukum-hukum dan aturan lain yang (telah) ada dan dissepakati bersama oleh komunitas local.

Kepastian kawasan dapat dicapai, manakala semua pihak (subyek hak) telah mampu mewujudkan kesepahaman dalam melihat obyek hak (tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya) dengan perspektif yang sama, serta menggunakan fondasi dan system hukum yang sama. Kesepahaman harus diwujudkan untuk menjaminan keberadaan, kepastian, perlindungan dan keberlangsungan obyek hak.

Kepastian kawasan hutan bisa terwujud, bila ada political will dari pemerintah cq. Departemen Kehutanan, untuk segera mengambil lagkah-langkah yang mampu menyentuh akar permasalahan, agar segala usaha/kegiatan pengelolaan hutan produksi dan konservasi di sektornya terjamin keberadaannya, kepastian usahanya dan mendapat perlindungan hukum yang proporsional.

Mengabaikan kepastian hukum dan kepastian kawasan pada koridor pengelolaan hutan produksi secara lestari, sama maknanya dengan memelihara ketegangan yang berkepanjangan antar pihak yang berselisih, yang pada gilirannya akan berujung pada tenggelamnya nilai dan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang benar dan lestari.

D. Hal-hal Yang Mendesak

Dalam menyikapi problematika pengelolaan sumber daya hutan dalam kaitannya dengan aspek tenurial ini, beberapa hal yang dianggap perlu dan mendesak untuk segera ditindak lanjuti, sesuai prioritasnya adalah sebagai berikut :
  1. Bangun kepercayaan dan kesepahaman antar pihak.
  2. Kaji kembali landasan hukum pengelolaan sumber daya hutan yang berkaitan dengan aspek penguasaan lahan, dari hirarki yang paling tinggi (UUD ’45) sampai dengan peraturan pelaksanaannya untuk mendapatkan persepsi yang sama.
  3. Kaji kembali dengan perspektif hukum (redefine), hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, agar diterima dan diakui keberadaannya.
  4. Segera buat kebijakan dan atau aturan yang jelas dan tegas tentang masalah tenurial untuk menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi hutan (terutama hutan prosuksi) yang pada gilirannya akan menjamin kepastian kawasan.
  5. Lakukan deliniasi ulang terhadap kawasan-kawasan hutan yang di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat yang telah diterima dan diakui keberadaannya.
  6. Berikan hak pengelolaan yang sama kepada masyarakt hukum adat yang telah diterima dan diakui keberadaannya, disertai kewajiban dan tanggung jawab yang sama pula dengan pengelola hutan lainnya.
E. Penutup
Pengelolaan sumber daya hutan, sudah tiba waktunya untuk dibangun di dalam kerangka dan fondasi hukum uang jelas dan tegas. Kepastian berusaha, sudah saatnya menjadi bagian dari good forestry governance. Walau telah disepakati menjadi persoalan bersama, namun land tenure di dalam kawasan hutan tetap merupakan domain Departemen Kehutanan menyelesaikannya, dan disanalah seharusnya kita boleh berharap hutan kita dapat dikelola secara lestari.