Wednesday 16 July 2008

PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERKAITAN DENGAN ASPEK TENURIAL


Keberadaan hutan dan kawasannya pada dekade 20 tahun terakhir ini telah mengalami degradasi yang cukup signifikan dan sangat mengkhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terjadi antara lain sebagai akibat konflik sosial yang didasari oleh konflik lahan (tenurial). Pada dekade tahun 1990-an saja, tidak kurang dari 19,807 konflik terjadi pada lahan-lahan HPH, HPHTI, Perhutani dan Taman Nasional dalam bentuk penebangan liar, tumpang tindih status lahan, reclaiming, perladangan liar dan pembakaran hutan (Mushi, 1999).

Kebutuhan atas lahan untuk penggunaan (sektor) lain, seperti pemukiman, pertambangan, pertanian dan perkebunan, semakin memperparah laju penurunan luassan kawasan hutan. Dalam berbagai persoalan lintas sektoral ini, sektor kehutanan menjadi inferior.

Pada dasarnya, konflik lahan terjadi akibat secara de jure sumber daya alam (termasuk hutan) yang diklaim adalah dikuasai negara (pasal 33 UUD ’45), de facto-nya tidak diakui oleh (sebagian) masyarakat. Konflik lahan juga sering terjadi akibat manajemen kawasan (tata ruang) yang kurang baik, dan belakangan terjadi akibat tarik-menarik kewenangan pengaturan sumber daya alam antara pusat dan daerah.

Pada tingkat unit pengelolaan hutan, konflik berwujud pada klaim yang bertumbukan (tumpang tindih) atas lokasi yang sama dari dasar hak yang berbeda. Di satu pihak, pengelola hutan mempunyai klaim atas hak yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan perundangan dan hukum formal yang berlaku, sedangkan di lain pihak, masyarakat mendasarkan klaim atas hak tersebut dari aturan dan atau hukum adat setempat yang telah disepakati bersama. Sementara bila konflik ini terjadi, pemerintah hanya bisa “angkat tangan” dan mengembalikan permasalahan kepada pengelola, seolah lahan/areal yang menjadi ajang konflik pengelola dan masyarakat, adalah bukan domain-nya.

Meminjam istilah Noer Fauzi (Ketua BP-KPA), konflik yang tejadi pada unit pengelolaan hutan ini, seperti “pucuk gunung es” yang menonjol di permukaan, namun di bawah permukaan ada kekuatan atau daya tahan yang terus-menerus akan memunculkan konflik-konflik lain di permukaan dan tetap bertahan untuk waktu yang lama.

Jelas, hal ini menjadi kondisi yang tidak menguntungkan bagi bisnis kehutanan. Berbagai dampak dapat secara kasat mata dicermati saat ini antara lain, adalah :
• Menurunnya kuantitas dan kualitas hutan
• Menurunnya tingkat investasi pada sektor kehutanan
• Menurunnya devisa Negara
• Melemahnya daya saing pasar atas produk hasil hutan.

B. Bentuk-bentuk Upaya

Tidak sedikit pengelola hutan, baik BUMN maupun BUMS yang dengan kesadarannya telah melakukan berbagai uapaya kelola social untuk mencoba mengatasi konflik yang beralaskan tenurial. Sebagi cantoh :
• Perhutani dengan Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM)-nya,
• RAPP dengan Smallholder Partnership for Poverty Alleviation (SPPA)-nya,
• PT. Aya Yayang dengan Community Cooperation-nya,
• PT. Wira Karya Sakti dengan Pembangunan Hutan Tanaman Bersama Masyarakat,
• Dll.

Sejumlah inisiatif local telah banyak digagas, baik oleh LSM, lembaga-lembaga donor dan pemerintah untuk mencari bentuk penyelesaian terbaik guna menjawab persoalan penguasaan lahan dan mengakomodir semua kepentingan.

Faktanya, semua upaya baik pada tataran konsep maupun pragmatis yang telah dilakukan di atas, masih bersifat sesaat (insidentil) dan belum mampu secara komprehensif membendung potensi konflik lainnya. Kesepahaman antar pihak, seringkali terjadi masih berifat elitis yang belum mampu diterjemahkan sampai grass root level, serta belum mampu menyentuh akar persoalan. Bila demikian, masihkah harapan pengelolaan hutan prosuksi secara lestari (SFM) ditumpukan pada pengelola?

C. Kepastian Kawasan, kepastian Hukum

Dari pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dan masih berlanjut sampai saat ini fenomena yang ada menunjukkan bahwa segala fondasi yang telah melahirkan konflik dengan issue tenurial dan social pada segala usaha kegiatan pengelolaan hutan di sector kehutanan, adalah masalah kepastian kawasan yang tidak dipayungi dengan penegakan dan kepastian hukum. Masalahnya lagi, system hukum yang berkaitan dengan aspek tenurialpun de facto-nya masih ada yang berbasis Negara (state based tenure system) dan yang berbasis masyarakat (community based tenure system).

Kawasan hutan yang selama ini telah ditata sedemikian rupa melalui proses-proses kesepakatan dalam TGHK, tata ruang dan penunjukkan Kawasan hutan dan Perairan (KHP), harusnya secara legal formal (dengan basis system hukum Negara) sudah mampu memberikan kepastian. Pada kenyataannya, selama ini pula proses-proses tersebut masih ditempuh dengan mekanisme top down dan (katanya) menafikankeberadaan hukum-hukum dan aturan lain yang (telah) ada dan dissepakati bersama oleh komunitas local.

Kepastian kawasan dapat dicapai, manakala semua pihak (subyek hak) telah mampu mewujudkan kesepahaman dalam melihat obyek hak (tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya) dengan perspektif yang sama, serta menggunakan fondasi dan system hukum yang sama. Kesepahaman harus diwujudkan untuk menjaminan keberadaan, kepastian, perlindungan dan keberlangsungan obyek hak.

Kepastian kawasan hutan bisa terwujud, bila ada political will dari pemerintah cq. Departemen Kehutanan, untuk segera mengambil lagkah-langkah yang mampu menyentuh akar permasalahan, agar segala usaha/kegiatan pengelolaan hutan produksi dan konservasi di sektornya terjamin keberadaannya, kepastian usahanya dan mendapat perlindungan hukum yang proporsional.

Mengabaikan kepastian hukum dan kepastian kawasan pada koridor pengelolaan hutan produksi secara lestari, sama maknanya dengan memelihara ketegangan yang berkepanjangan antar pihak yang berselisih, yang pada gilirannya akan berujung pada tenggelamnya nilai dan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang benar dan lestari.

D. Hal-hal Yang Mendesak

Dalam menyikapi problematika pengelolaan sumber daya hutan dalam kaitannya dengan aspek tenurial ini, beberapa hal yang dianggap perlu dan mendesak untuk segera ditindak lanjuti, sesuai prioritasnya adalah sebagai berikut :
  1. Bangun kepercayaan dan kesepahaman antar pihak.
  2. Kaji kembali landasan hukum pengelolaan sumber daya hutan yang berkaitan dengan aspek penguasaan lahan, dari hirarki yang paling tinggi (UUD ’45) sampai dengan peraturan pelaksanaannya untuk mendapatkan persepsi yang sama.
  3. Kaji kembali dengan perspektif hukum (redefine), hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, agar diterima dan diakui keberadaannya.
  4. Segera buat kebijakan dan atau aturan yang jelas dan tegas tentang masalah tenurial untuk menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi hutan (terutama hutan prosuksi) yang pada gilirannya akan menjamin kepastian kawasan.
  5. Lakukan deliniasi ulang terhadap kawasan-kawasan hutan yang di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat yang telah diterima dan diakui keberadaannya.
  6. Berikan hak pengelolaan yang sama kepada masyarakt hukum adat yang telah diterima dan diakui keberadaannya, disertai kewajiban dan tanggung jawab yang sama pula dengan pengelola hutan lainnya.
E. Penutup
Pengelolaan sumber daya hutan, sudah tiba waktunya untuk dibangun di dalam kerangka dan fondasi hukum uang jelas dan tegas. Kepastian berusaha, sudah saatnya menjadi bagian dari good forestry governance. Walau telah disepakati menjadi persoalan bersama, namun land tenure di dalam kawasan hutan tetap merupakan domain Departemen Kehutanan menyelesaikannya, dan disanalah seharusnya kita boleh berharap hutan kita dapat dikelola secara lestari.

No comments:

Post a Comment